XtGem Forum catalog

 Friendzone



 

Kamu berubah..”

Cuma itu penggalan kalimat dari percakapan singkat antara celana jeans dengan perutku. Oke, tepatnya dia sedang bersenda gurau dengan lemak-lemak jahat di perutku.

Semakin lama di kos, semakin banyak jumlah semester yang telah aku jalani di belantika perkuliahan, semakin menambunkan tubuhku. Ah entahlah, aku suka kesal sendiri dengan perut ini. Telat kuberi makan, dia maag. Terlalu banyak kuberi makan, dia menggelambir.

“Dasar perut tak tahu diuntung!”

Pada suatu pagi, hapeku yang suara getarnya menimbukan pencemaran suara itu, bergetar. Tentu saja, beberapa teman kosku langsung menggedor-gedor pintu kamarku. Rupanya mereka tak kuasa menutup kuping setelah mendengar hapeku bergetar.

Oke, ada sebuah SMS masuk ke hape jahanam itu. Itu baru SMS, bagaimana kalau ada panggilan masuk?

Ya, SMS itu berasal dari salah seorang teman lamaku. Sewaktu semester-semester awal, dia sering bersamaku. Banyak sekali waktunya terbuang sia-sia ketika dia berada di sampingku.

“Don, kau di mana sekarang? Lama indak jumpa ni kita.”

Begitulah pesannya.

“Sorry, ini siapa?” Aku segera membalasanya yang tentu saja dengan bonus pulsa.

“Bah, sombong kali kau! Ini Sani.”

“Astaga, Sani, sejak kapan kau mengganti nomor?”

Bodat! Kau yang ganti nomor. Aku tau nomor kau dari bagian mahasiswa di akademik kampus.”

Ya, aku memang kerap kali menggonta-ganti nomor. Nyaris tak ada satupun provider telepon selular yang belum aku cobai bonus SMS-nya.

“Kenapa San?”

“Hari Kamis malam ngumpul bareng, lah. Kau masih berhutang Smirnof. Hahaha.”

Oke, aku dan Sani nyaris empat semester tak bertemu. Wajar sekali dia hendak mengajak bertemu. Namun yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah, dia masih mengingat hutang sebotol Smirnof akibat kekalahanku main gaple di parkiran Indomaret . Iya, sewaktu semester satu!

-----

Akhirnya, aku mengiyakan ajakannya.

Motor yang kali ini bukan pinjaman, Iya, sekarang aku kemana-mana sudah bermotor, kuparkirkan di depan sebuah kafe. D’cinamons namanya. Tempatnya bagus. Psstt, ini sebuah bocoran. Kafe inilah yang aku gunakan sebagai lokasi menulis cerita ini. Dan tentu saja untuk tulisan-tulisan yang nantinya hendak aku bukukan. Kelak..

Tentu saja Sani dengan cepat menemukanku di tengah keramaian. Ya, “In Playboy We Trust” yang terpampang jelas di kaosku, roman-romannya mudah untuk mengalihkan perhatiannya.

“Hoy, Don! Ah, apa kabar kau! Alamak, tambun kali sekarang kau?”

Sapaannya barusan seperti hendak mengajak tawur. Kalau aku adalah seorang wanita, pasti aku akan langsung bad mood mendengarnya. Ah, selamat. Aku lelaki. Aku pun terhindar dari serangan bad mood.

Oke, belum selesai aku mencoba bersabar dari sapaan akrab yang terdengar seperti ajakan tawuran itu, aku dibuat kembali tercengang oleh dirinya.

“Sa-sani? Sani temanku yang dulu aku sering panggil Dugong itu, kan?

“Hahaha, bodat kau. Mari-mari masuk. Baru tiga orang yang sampai. Aku kira kau berhalangan hadir.”

Ada yang berbeda dari dirinya. Dulu, di semester-semester awal kuliah, ia begitu tambun. Seperti sapi gelonggongan. Aku sering khawatir ketika ia berjalan menelusuri jalan turunan. Iya, aku takut dia menggelinding.

Dan kali ini, panggilan sapi gelonggongan sudah tak bisa aku lontarkan padanya. Harus mencari di mana sapi gelonggongan yang bentuknya atletis? Aku kalut. Aku harus secepatnya menemukan cercaan yang tepat untuk menggantikan cercaan sapi gelonggongan padanya yang sudah terlanjur melekat di kepalaku.

Sampoerna mild pun ia keluarkan dari saku kemejanya, dengan sedikit bantingan lembut ke meja, seperti biasa, ia menawarkan pada kami.

“Ambil saja, jangan malu-malu.”

“Umm sorry, Sani, kau punya permen?”

“Hah, buat apa?

“Aku sudah berhenti menarik asap dengan mulut dan mengeluarkannya lewat hidung, San.”

Bukannya mendapat permen yang aku inginkan, aku malah mendapat puk-puk bergilir di pundak secara gratisan oleh mereka. Ah, na’as, tak ada dari mereka yang percaya jika aku telah pensiun dari dunia pernikotinan.

“Mas, sisha untuk empat orang, bisa?” Sani tanpa membuat persetujuan dengan kami terlebih dahulu, memesan sisha untuk kami hisap tentunya.

“Oke Don, bolehlah kau mengacuhkan Sampoerna Mild ini, tapi jangan kau acuhkan asap rasa anggur yang ini.” Lanjut si Rahmat.

“Ah, baiklah. Kutemani kalian hingga pagi jika yang kuisap ini asap rasa anggur!” Aku pun bersemangat.

Dan seperti biasa, Sani ini suka sekali bermain gaple. Ia langsung mengocok gaple  dan membagikannya pada kami. Tapi kali ini aku tak bersemangat main gaple seperti yang dulu biasa aku lakukan dengannya. Ya, aku lebih berfokus pada perubahan yang terjadi pada lemak-lemak jahatnya.

“San, kau sedang diet ketat?

“Ah, tidak. Kenapa memangnya?

“Kau sekarang terlihat seperti Captain America.”

“Ahahaha, bisa saja kau! Masih menggelambir ini!” Ia tertawa sambil mengepuskan asap sisha ke mukaku.

“Apa rahasianya? Aku berjanji akan melakukan semua yang pernah kau lakukan untuk mendapat tubuh Captain America itu.” Tukasku sambil menatapnya nanar.

“Yakin?”

“Apa aku terlihat kurang meyakinkan?” Aku menatapnya dalam puncak nanar tertinggi.

“Hmm, kau jaga pola makan. Untuk sebulanan ini, kau coba rutinkan jogging. Nanti aku beri instruksi selanjutnya.”

Sambil mengepus sisha ke langit-langit, aku mengiyakan instruksinya.

Apapun kulakukan untuk bisa bermusuhan dengan lemak-lemak jahat yang sudah bertahun-tahun menggelambirkan banyak tempat di tubuh ini.

------

Tanpa perlu berlama-lama menunggu, dua hari berselang, di pagi harinya aku memutuskan jogging di dekat rektorat Universitas. Hari itu hari Sabtu, aku jogging menggunakan atribut futsal. Ya, sepatunya memang pinjaman. Tapi tak mengapa.

“Ah, kalau cuma lari-lari seperti ini, tentu mudah sekali.” Bisikku dalam hati yang bernada menggampangkan.

Iya, selang tiga menit kemudian, aku terkapar di pinggir jalan.

“Jantungku! Jantungku! Jantungku jatuh di mana tadi!?!”

Di tengah keterkaparan, aku hanya bertanya-tanya dalam hati. “Sudah berapa masehi aku tak berolahraga?”

Aku masih tak sempat membedakan mana jogging mana sprint. Ah, yang kutahu hanya lari-lari.

Selain nafas yang tersengal-sengal, aku juga punya problem lain. Iya, aku cuma sendirian sekarang. Kesepian sekali. Tak ada yang memperdulikanku saat terkapat di pinggir jalan tadi. Ini tentu mencemaskan.

Oke, keesokan harinya aku memutuskan untuk jogging di sore hari. Sesuai dengan ekspektasiku, sore hari sangat ramai. Banyak remaja-remaja yang roman-romannya memiliki permasalahan berat badan sepertiku yang ingin mencari keringat di sini.

Dan tentu saja, ada banyak perempuan cantik berlalu-lalang melewati pandanganku.

Dari sini, cerita menyedihkan nampaknya akan bermula..



 

Kuikat tali sepatuku, kuregangkan otot-otot tungkai kakiku, lalu aku berjalan pelan. Lima menit berselang, kukencangkan laju langkahku, dan akhirnya aku berlari. Begitu seterusnya sampai terengah-engah aku dibuatnya.

Kubuka hatiku, kupercayakan harapan-harapanitu, lalu aku mulai memahaminya perlahan. Lima minggu berselang, kupercepat laju perasaanku, dan akhirnya, aku jatuh cinta. Begitu seterusnya sampai terkangen-kangen aku dibuatnya.

Oh, ternyata jogging dengan jatuh cinta memiliki kesamaan ritme.

Oh.

Aku sudah dua minggu ini rutin membuat lemak-lemak jahat kebakaran jenggot. Namun entah, belum ada perbincangan menarik antara aku dengan timbangan. Kadang, aku ingin seperti berat badan, tak pernah luput kamu perhatikan.

Motivasi untuk menjadikan tubuh ini layaknya The next American Captain, mulai luntur. Ah, selalu begini. Rutinitas memang selalu membosankan. Maka dari itu aku tak mencintaimu sebagai rutinitas.

Jika aku tak konsisten, Sani tak akan mau membuka rahasia mengapa biceps-nya membengkak menjadi seperti itu. 

Tapi itu tidak lama, di minggu ketiga, mendadak semangatku berkobar kembali. Aku kembali jogging di sore hari. Iya, aku bertemu dengan seorang perempuan sore. Bulir keringat yang menuruni keningnya, dan ia seka menggunakan handuk kecilnya, mencabik-cabik kegetiran.

Aku pandangi ia dari kejauhan. Kuikuti tiap langkah kakinya dari belakang. Sambil berlari-lari kecil di belakangnya, aku sejenak memendam heran. Bagaimana perempuan se-aduhai ini, baik dari paras maupun lekuk tubuhnya, sampai berpeluh-peluh jogging seperti ini.

Apa ia tak mensyukuri apa yang ia punya sehingga ia ingin lebih seksi dari ini?

Apa ia tak memikirkan bagaimana jadinya aku jika melihatnya lebih seksi dari ini?

Sambil berfantasi yang tidak-tidak, aku tetap berlari-lari kecil sembari menyeka mimisan.

Esoknya, sore harinya, aku dengan semangat membabibuta kembali bergegas untuk jogging. Aku seperti punya motif lain selain memahat lekuk tubuh.  Aku juga ingin memahat hatiku dengan namanya. Seperti biasa, ia hanya lewat begitu saja. Tatapannya tak pernah singgah ke retina mataku. Ia seperti dingin di tengah keramaian. Mengeringkan keringatku.

Setelah sekian lama aku berlari-lari pelan di belakangnya, aku sesekali ingin menyapanya. Mengapa ia selalu jogging sendirian. Iya, aku ingin sekali.

“Hei kamu, kenapa selalu sendi..”

“Aku tak sendiri, kamu selalu ada di belakangku setiap sore.” Dia langsung memotong.

“Astaga, bagaimana kamu tahu apa yang ingin kukatakan?”

“Sederhana, kamu selalu mengikutiku dari belakang, dan ketika aku menoleh ke arahmu, kamu langsung memandangi langit.”

“Tapi.. ”

Aku malu sekali. Iya, aku tak kuasa melihat langit ketika ia tiba-tiba menoleh ke arahku.

Ia pun melambatkan laju jogging-nya. Wah, ini pertanda. Lantas kupercepat saja laju joggingku. Kini aku sejajar dengannya. Ya, aku bisa menatapnya dari angle berbeda. Tidak lagi dari belakang. Aku memang lelaki yang mudah senang. Melihatnya dari belakang dua minggu belakangan ini saja sudah membuatku senang.

Jogging bersama kekasih di sore hari seperti ini, membuatku berada di dalam cekaman romantisme.

Oh, barusan aku typo.

Jogging bersamanya di sore hari seperti ini, membuatku berada di dalam cekaman romantisme. Banyak yang kami ceritakan. Namun, lebih banyak yang kami utarakan. Aku datang dari ufuk barat, ia muncul dari ufuk timur, kemudian bertemu di utara. Mengutara, saling mengutarakan rasa.

Entah, aku seperti mengenalnya sudah terlampau lama. Aku familiar sekali dengan gaya bicaranya. Iya, walau baru dua minggu belakangan ini aku memandangi lekuk tubuhnya dari belakang. Aku siang, dia malam, kami berpapasan saat senja. Dan senja pula yang menyudahi pertemuan kami hari itu.

Kita bertemu seketika, dan kini kurasa kangen yang benar-benar tak beretika.

Aku sedang tidak jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku telah lama memandangnya, bahkan ketika ia tak sadar sedang  kupandangi.

Aku juga tak meminta nomor teleponnya. Aku seperti akan bertemu terus dengannya.

 Oh tunggu, tunggu sebentar. Hapeku yang getarnya mengalahkan getaran perasaan mereka yang tengah kasmaran itu, bergetar. Mengalihkanku dari tulisan ini. Tunggu sebentar, aku cek dulu.

Oh, ini SMS dari Sani.

Kurang lebih seperti ini isinya..



 

Oh, ini SMS dari Sani.

Kurang lebih seperti ini isinya..

“Bagaimana perkembangan kau? Kulihat kau sering jogging satu bulan ini. Kau harus mencoba fitness.”

Belum ada tiga menit SMS itu berada di inbox-ku, aku lekas membalasnya.

“Baiklah. Di mana?”

Bak percakapan SMS antar sepasang kekasih yang saling lekas membalas, Sani sekejap membalasku lagi.

“Sore ini, datanglah ke kosku. Tempat yang dulu sering kau jadikan pelarian dari kejaran pemilik kosmu di 

akhir bulan.”

Oke, SMS barusan darinya memang mencarut-marutkan perasaan. Sambil menatap langit-langit, seketika aku flashback kenangan-kenangan bersamanya di dahulu kala. Ah, lucu sekali memang. Dalam hati aku mengumpat sial padanya.

Singkat cerita, sekarang adalah sore hari, jam setengah empat, aku sudah di depan kos Sani. Kosnya masih seperti yang dulu, hanya ada tambahan poster Michael Carrick di depan pintu kamarnya. Dia memang penggemar Manchester United. Dulu, kami sering bertaruh bola. Dia memegang Manchester United, aku memegang tangan kekasihku. Entah siapa yang menang.

Dengan menggunakan atribut futsal, aku ketuk pintu kamarnya dan kubuka, kulihat ada Captain America yang baru saja selesai mengenakan kostumnya, dan sekarang ia siap bertempur menggunakan prisai bulatnya -- yang sering aku salah terka sebagai wajan untuk menggoreng nasi.

Ah, itu Sani.

Setelah Sani mengambil ranselnya, kami pun berangkat.

Aku belum pernah fitness sampai di usiaku yang sekarang. Tempat ini cukup bagus, seperti tempat fitness yang ada di hotel-hotel. Aku belum pernah melihat tempat fitness yang ada di hotel-hotel. Segera setelah melunasi biaya pendaftaran, aku beranjak ke dalam menyusul Sani.

Astaga, tempat ini penuh dan riuh diisi lelaki-lekaki berotot mengkhawatirkan. Mungkin  cuma aku yang berlemak jahat dan berwujud buntalan lemak di sini. Kulihat Sani melakukan peregangan otot-ototnya, aku pun melakukan hal yang sama. Kulihat Sani mengangkat dumble seberat lima kilogram, dan aku pun melakukan hal yang sama. Oke, kali ini aku tak mampu mengikuti apa yang dilakukan Sani.

“Benda macam apa ini, tak mampu kuangkat hanya dengan sebelah lengan!” dumble tak berdosa itu malah kumarahi.

Berada di tengah orang-orang yang  badannya ditumbuhi otot yang membengkak, entah, aku merasa memiliki keterbelakangan fisik. Otot biceps Sani terlihat keras dan berisi sekali. Lantas kulirik biceps-ku, kulihat tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kulihat otot betis Sani, terlihat padat dan sehat. Sekali lagi, kubandingkan dengan otot betisku. Ini empuk sekali seperti pipi perempuan yang menggemaskan.

“Sani, apa untuk bertubuh altletis harus mengangkat beban?” Tanyaku pada Sani.

“Su-sudah jelas. Itulah mengapa aku mengajak kau ke sini.” Sani menjawab sambil meringis karena mengangkat dumble sepuluh kilogram.

Tunggu, tunggu sebentar. Katanya mengangkat beban adalah rahasia tubuh atletisnya?

Jika begitu, bila hatiku adalah sebuah tubuh, sudah tentu ia sangat atletis. Hatiku selalu membawa beban berat. Karena besarnya cintamu tak sanggup dipanggul hatiku.

Mengapa aku jatuh hati padamu? Karena hatiku terlalu berat memanggul rindu.

Tak banyak yang bisa aku lakukan hari ini. Otot-ototku seperti asing dengan beban-beban yang ditawarkan di tempat fitness ini. Tapi aku berjanji, esok hari aku akan menjajal beban-beban ini lagi.

---

Entah mengapa, aku suka sekali dengan senja. Hampir di setiap ceritaku, selalu kuselipkan kata senja. Di bawah senja berbincang tentang kesepian, tanpa sengaja kita berancang-ancang untuk mengulang kehilangan.

Senja ini juga yang menyudahi pertemuanku dengan beban-beban berat hari ini.

----

Esoknya, benar kata Sani, otot-ototku terasa sakit semua, sekujur memilu sampai ke tulang. Katanya, ketika mengangkat beban di luar kemampuan otot, otot akan rusak. Karena tahu otot-ototnya rusak, tubuh akan menambal otot-otot yang rusak itu dengan serat-serat dan serabut otot yang baru. Dan terus begitu hingga otot-otot itu terlihat bertambah besar karena penambahan serat-serat dan serabut otot di atasnya.

Lalu apa bedanya dengan patah hati? Ketika hati menanggung luka dan kecewa di luar batas perasaan, maka hati akan patah. Karena tahu hatinya – yang cuma satu-satunya itu patah, nurani akan menambal keretakan di hati yang patah itu dengan harapan-harapan baru. Dan terus begitu hingga hati menjadi lapang dan berjiwa besar untuk bisa dikecewakan atau dilukai lagi suatu hari nanti.

Sebenarnya, rasa sakit tak pernah hilang. Hanya aku yang bertambah kuat karenanya.

Di hari setelah kemarin, sekarang, karena tahu otot-otot badanku banyak yang tak berfungsi maksimal, aku cuma berencana lari-lari kecil di atas tridmil siang ini. Namun siang hari itu rasa-rasanya sedikit berbeda. Ketika aku sampai di depan pintu masuk tempat fitness yang seperti tempat fitness hotel-hotel itu, mataku disambar kegetiran.

Aku melihat sesuatu yang benar-benar aku rindukan. Seperti kerinduan tanah-tanah gersang yang retak dan menanti untuk dibasuh hujan. Bak sungai kering di musim kemarau yang merindukan air mengaliri tubuhnya. Aku layaknya seseorang yang berumur panjang, dapat melihat banyak hal indah di dunia ini, seperti keindahan yang aku lihat sekarang.

Aku melihatnya lagi..



 

Aku melihat sesuatu yang benar-benar aku rindukan. Seperti kerinduan tanah-tanah gersang yang retak dan menanti untuk dibasuh hujan. Bak sungai kering di musim kemarau yang merindukan air mengaliri tubuhnya. Aku layaknya seseorang yang berumur panjang, dapat melihat banyak hal indah di dunia ini, seperti keindahan yang aku lihat sekarang.

Aku melihatnya lagi..

Sudah dua minggu ini aku tak bersua dengannya. Aku sudah sering latihan di Gym ketimbang jogging di sore hari. Dan benar dugaanku, aku seperti merasa akan bertemu dengannya lagi, tidak hanya ketika jogging sore hari itu. Ia berjalan memunggungiku masuk ke dalam ruangan Gym, tentu ia tak melihatku. Aku yang baru sampai di pintu masuk pun bergegas masuk ke dalam.

“Hei kamu, juga fitness di sini ya?” Aku mencoba menyapanya.

“Eh, tak kusangka kita akan berjumpa di sini ya. Kamu sudah lama latihan di sini?” Balasnya.

“Umm, aku baru seminggu ini latihan. Kamu?”

“Aku baru dua bulan sih. Hehehe.” Ia tersenyum-senyum.

Ia pun naik ke atas tridmil dan berlari-lari kecil. Melihat ada satu lagi tridmil yang kosong tak terpakai di sampingnya, tentu tak kusia-siakan begitu saja. Kuletakkan ranselku, kupakai sepatuku, kuikat kencang, dan aku pun naik ke atas tridmil.  Dan kini aku berlari-lari kecil tepat di sampingnya lagi, seperti ketika sore-sore yang pernah aku lalui bersamanya.

Di atas tridmil yang berjalan, kami hanya diam. Sesekali menengok ke samping. Ketika aku menatapnya, ia melihat lurus ke depan. Ketika ia menatapku, aku yang melihat lurus ke depan. Kami memang diam, namun mata kami  berbincang hebat. Di sela-sela ketersesatanku saat memandanginya, aku terus bergumam. “Aku seperti tak mampu berhenti memandangimu, seolah-olah Tuhan memberikan kedua mata ini khusus untuk menikmati keindahanmu di berbagai jarak.”

Lima belas menit sudah, berpeluh namun tak berpeluk, aku dengan dirinya berlari-lari di atas tridmil. Tak sepatah kata pun terlontar. Hanya ada tatapan yang bertubi-tubi dan sesekali senyum muncul tanpa disadari. Sebenarnya, ketika kau tersenyum padaku, aku menerka-nerka, seberapa dekat aku dengan kebahagiaan..

Siang ini, aku memang hanya ingin tridmil sebentar lalu pulang. Tapi itu hanya sebatas wacana, pertemuan dengannya dan saling bersedekap senyum sambil berpeluh-peluh di atas tridmil, mengurungkan niatku untuk lekas pulang.

“Biasanya, kamu latihan sampai berapa jam?”

Akhirnya ia mengentaskan keheningan. Sesambil menyeka bulir-bulir keringat di keningnya, ia membuka pembicaraan. Ketika aku mengajaknya bicara, aku seperti berdoa. Ketika ia yang mengajakku bicara, aku seperti bermimpi.

Ingin sekali kubalas tanyanya seperti ini. “Aku tak akan pulang sampai kamu mau menjadikan hatimu sebagai rumah kepulanganku.”

..Dan tentu saja itu tak kulakukan.

“Oh, tak tentu sih. Tapi biasanya satu setengah jam adalah yang paling lama. Kalau kamu?” Akhirnya  hanya itu balasku padanya.

“Hmm, sepertinya sama. Aku juga sepertimu.”

“Kamu kan sudah langsing, apa lagi yang kamu cari di sini?”

“Hehehe, ini masih gendut kok.” Balasnya sambil menembem-nembemkan pipinya.

AH! Aku ingin sekali merebahkan diri di pipinya. Dan tentu saja tak kulakukan.

“Kalau yang sepertimu ini disebut gendut, lalu harus dengan sebutan apa orang-orang memanggilku?”

“Ahh, kamu tidak gendut. Kamu cuma bersahabat baik dengan lemak.” Katanya.

Kalimat pertama darinya seperti menerbangkanku, namun di kalimat kedua, ia menghempaskanku keras-keras menghujam batu jalanan. Dan sekarang aku terluka parah.

“Ah.. kamu bisa saja.”

Dan untuk kesekian kalinya, kami bertukar senyum. Sebenarnya, ada banyak doa dan harapan di sela-sela ketersesatanku dalam senyumannya. Olahraga ringan yang rencananya aku prediksi hanya berlangsung tiga puluh menit ini, tak berjalan sesuai rencana. Tak terasa, canda dan tawa kami melebur dalam debur, tersemat dan melumat. Berjalannya waktu tak sempat mengusik kebersamaan kami. Saat itu ia adalah sebuah senyuman yang memeluk, aku adalah jarum jam yang berhenti berputar. Aneh memang, bagaimana caranya membuang-buang waktu, jika saat-saat bersamanya jarum jam berhenti berputar?

Sekarang sudah sore, ia harus pulang. Dan setelah dipertemukan dengannya, aku seperti tak punya alasan untuk pulang. Ia rumahku. Tempat merebahkan letih, tatih, asa, dan rasa. Pembicaraan berjam-jam kami seputar aku-kamu-memandang-dan-kemudian-tersenyum tadi pun harus usai. Ia pun bergegas pulang meninggalkanku. Aku melihat tubuhnya pelan-pelan mengecil, sepasang mataku mencium punggungnya yang nyaris hilang di depan bibir pintu ruangan. Sebelum ia benar-benar menghilang keluar dari pintu ruangan,

“Hey, aku belum tahu namamu. Namamu siapa?” Seruku.

Ia menghentikan langkahnya, tak jadi hilang di balik pintu ruangan. Sambil tersenyum, dengan senyumnya yang menyesatkan pandangan, ia membalikkan tubuhnya.

“Nia.”

“Senang, bisa bertemu denganmu di sini.”

“Iya, kapan-kapan kita bertemu lagi ya.” Balasnya.

Ia pun menghilang di balik pintu ruangan. Namun, senyumannya yang kugenggam dengan sepasang mataku ini tak lantas hilang. Kedua mataku seperti lensa kamera DLSR tercanggih, dapat mengabadikan momen-momen indah dengan cepat. Senyumnya, misalnya.

Dengan hati dipenuhi hamparan kerlap-kerlip bintang, aku pun juga bergegas pulang.

Percuma jatuh cinta jika yang kau cari adalah bangunnya.

Dan kini, aku begitu menikmati keterjatuhanku dalam cinta untuknya.

Kita sebatas imajinasi, kurangkai nanar pada intuisi, hingga akhirnya kita saling mengisi dalam kalimat yang mereka sebut ..puisi.



 

Dan jelas, malamnya aku tak bisa tidur. Aku sudah berkali-kali merebahkan dan memaksa tubuh ini untuk beristirahat, tidak terus terjaga. Namun hatiku berencana lain, ia memilih untuk terjaga. Senyumannya seperti cafein, membuat hatiku terus terjaga hingga matahari terbit. Aku bergelimang rindu.

Hanya siluet senyuman dan hasil rekaman wajahnya yang ada di pikiranku. Iya, hanya itu yang aku punya sekarang. Aku bahkan tak tahu harus menghubunginya lagi ke mana. Kuseduh saja kopi pekat di bawah hitam malam yang melekat, seperti kerinduan yang sudah dekat, namun diutarakan pun tak sempat. Namun aku yakin, esok hari mataku akan kedapatan mencium punggungnya lagi. Tidak untuk melihatnya berpaling, tapi untuk melihatnya berbalik untuk menghampiriku.

Aku dengannya pun semakin sering berpapasan, bertatap, dan berpeluk senyum. Namun walau begitu, aku selalu rindu saat kali pertama aku dipertemukan dengannya. Seperti ada jutaan gengsi yang sulit dijelaskan.

Sudah nyaris sebulan aku seperti ini dengannya. Aku hanya berkomunikasi dengannya menggunakan rasa. Mungkin benar, kerinduan adalah bahasa yang universal. Tidak bias disamar hujan, tidak hilang dipisah pulau, dan tidak lekang disurut waktu. Walau begitu, kerinduan juga sering salah komunikasi. Aku sedang merindukannya dan dia tidak, misalnya.

Pertemuan yang semakin intens antara diriku dengan dirinya di pusat kebugaran itu, membawa cerita ini ke level berikutnya. Bahkan sudah sampai di tingkat seperti ini aku tak kunjung mendapatkan nomor teleponnya. Sampai pada akhirnya, kesabaranku habis. Kerinduanku sudah berada di puncak kangen tertinggi. Ketika dia berpeluh-peluh berlari di atas tridmil, aku datang menghampirinya  dengan menawarkannya sebuah pembicaraan.

“Hai Nia, apa ada yang sedang mengantre?”

“Oh, tidak ada. Setelah aku, kamu bisa pakai tridmil ini.”

“Oh, aku tidak sedang bertanya tentang tridmil, aku bertanya tentangmu.”

“Ah! Kamu ngegombal!” dia hanya tersenyum-senyum.

“Lho, aku sedang tidak ngegombal.”

“Jadi, kalimatmu barusan bukan gombal?

“Bukan. Itu bukan gombal. Itu kamu yang sedang menanggapiku dengan romantis.”

Ia pun seketika mempelankan laju tridmil-nya. Iya, pelan sekali.

“Umm, Don, kamu mau membicarakan apa sebenarnya?”

“Malam ini aku punya acara menonton Resident Evil Retribution. Would you join me?”

“Umm, bagaimana yaa..”

“Jika kau tak ingin, kencangkan lagi laju tridmil-mu. Jika kau ingin, maka turunlah dari tridmil itu, dan sambutlah aku.”

...Ia pun turun dari tridmil itu.

Entah mengapa, selalu saja ada adegan di dalam sebuah bioskop di tiap ceritaku. Aku memang suka menonton. Dan mungkin, adegan yang paling aku suka adalah adegan di mana kamu berdebat hebat dengan kekasihmu. Di saat yang bersamaan, aku banyak merapal doa dan mantra untuk ketidakberlangsungan hubungan kalian.

Saat itu siang hari, hampir menuju pukul 15.00. Kami memutuskan untuk pulang dari pusat kebugaran itu. Film yang diputar di bioskop yang rencananya nanti kami sambangi, diputar pukul 18.30. Sembari menuju jalan pulang, Nia aku buntuti dari belakang. Aku harus tahu di mana ia tinggal, dan di mana ia melangkah pulang. Karena ia adalah rumah tempatku pulang, tempat di mana bahagiaku didulang, tempat di mana kenangan-kenangan kembali terulang.

Bagaimanapun juga, aku adalah lelaki yang selalu datang tidak tepat waktu. Aku selalu datang jauh-jauh dari jam yang telah ditentukan. Tepat di jam 17.27 aku sudah sampai di depan pekarangan rumahnya. Aku memberikan banyak isyarat perihal kedatanganku sore itu. Banyak yang telah kulakukan. Dari menekan tombol bel di pagarnya, mengucapkan kata “permisi” dengan lantunan suara yang syahdu, sampai memanggil-manggil nama “Nia” dengan nada penuh haru. Ini semua jelas kulakukan karena sampai detik-detik itu aku belum memiliki nomor ponselnya.

Hanya detak jarum jam yang menunjukkan berlalunya detik, yang menemaniku sore itu. Angin-angin sore memberitahuku bahwa ini akan segera beranjak malam. Ia pun pergi begitu saja sesambil menerbangkan dedaunan kering. Dan terus begitu, kulihat jam telah menunjukkan 18.12. Aku terbengkalai. Seperti menggelandang di depan pintu hati yang tak kunjung dibuka. Jika kerinduanku diibaratkan seorang bocah, dan dibiarkan sendiri di luar rumah, mungkin ia sudah menggigil kedinginan.

“Mahh, aku pergi dulu ya. Sama teman kok.”  Dari dalam rumah, suara Nia telah terdengar.

Penantianku di depan pekarangan rumahnya telah usai. Dan sekarang, waktunya penantian cintaku di depan pintu hatinya yang tengah dimulai. Rambutnya terurai panjang, seperti mengkilat memantulkan cahaya lampu taman. Senyumannya, lekuk tubuhnya, semua-semua dari dirinya. Aku seperti menemukan sesuatu yang menerangi hari selain matahari dan bulan. Bagiku, ia biasa saja. Namun, ketika yang lain nampak luar biasa, yang biasa yang kuingin. Mungkin benar, ia adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bahkan belum aku temukan..

“Maaf ya Don, sampai membuatmu lama menunggu..”

“Ah, tidak. Aku bahkan sudah bersiap menunggumu sampai separuh usia.”

“Uhh, aku masuk lagi ke dalam ya, Don..”

“.....”

Rumahnya memang dekat sekali dengan letak bioskop yang kami sambangi. Seperti aku yang tak pernah sedekat ini denganya. Kami semotor, namun belum tentu sehati. Dengan baru berangkat pada pukul 18.15 pun, kami  tak perlu khawatir jika bisa terlambat.

Setelah selesai menonton film, kami tak lekas pulang. Seperti mereka kebanyakan yang pergi menonton bersama calon kekasih, kekasih, maupun kekasih orang lain, setelah menonton, kami berencana untuk makan malam. Nia adalah perempuan yang sangat menjaga pola makannya. Ada banyak makanan di dunia ini yang dia tak akan mau sentuh. Seperti makanan berminyak, makanan tinggi karbohidrat, dan tentu saja makanan berlemak. Jika ia punya musuh, sudah pasti musuh abadinya adalah timbangan dan meteran celana. Oh iya, cermin juga seteru abadinya.

Melihat pola makannya yang seperti itu, tidaklah heran jika ia digolongkan sebagai perempuan dengan lekuk tubuh mengkhawatirkan. Aku tentu sangat khawatir mata ini terlalu dimanjakan dengan pemandangan indah. Memandanginya, misalnya. Aku hanya berharap hatinya tidak memiliki “pola makan” yang sama seperti perutnya. 

Akhirnya kami memutuskan untuk makan di sebuah tempat yang menyajikan makanan-makanan yang tak digoreng menggunakan minyak, nyaris tak berkarbohidrat, dan tentu saja jauh-jauh dari lemak. Sepertinya, ia LDR bersama makanan berlemak. Bertemu setahun sekali saja belum dapat dipastikan. Dan seperti yang sudah aku perkirakan jauh-jauh di alam bawah sadar, dia memesan makanannya yang begitu qualified di pencernaannya.

Salad.

Aku bukan seorang lelaki yang memilih-milih makanan. Aku bukan lelaki yang pemilih-milih. Apapun aku makan, selama itu bukan salad. Dia memilih tumpukan-tumpukan dedaunan dan buah-buahan yang dibalur dengan mayonnaise. Aku juga memilih tumpukan-tumpukan dedauan dan telur yang dibalur dengan saus kacang. Nia tertawa ketika aku menyebut salad yang diberi saus kacang tidaklah lain, dan tidaklah bukan adalah gado-gado.

Sembari menyantap dedaunannya, Nia bercerita banyak hal. Ia adalah mahasiswi Akademi Kebidanan yang dua minggu lagi akan diwisuda. Dan tentu saja, ketika ia menanyakan perihal kelulusanku, aku selalu mengalihkan topik pembicaraan. Ia bertanya apa kesibukanku sekarang, dan aku jawab.. “Jangan tawarkan aku kesibukan lain selain mencintaimu” padanya. Baru sampai di ujung lidah, kalimat di atas aku telan kembali. Aku jawab kalau aku sedang sibuk menulis. Aku tak pernah pandai menulis. Aku bahkan tak punya background di bidang menulis. Tapi aku tahu, aku tak pernah tahu sampai di mana kemampuanku jika tak pernah mencobanya. Sama seperti cinta, kadang kita tak butuh pandai dalam mengerti cinta, tak harus perlu mengerti dulu perihal cinta. Namun ketika kita mencobanya, kita akan mengerti apa itu perih dan perihal cinta.

Nia hanya tertegun dan melihat dalam-dalam pada kedua mataku. Mungkin bertanya-tanya apa yang ada di pikiranku. Dan ini giliranku kembali untuk membuatnya bercerita. Sebenarnya membicarakan kekasih di saat seperti ini adalah sebuah pedang bermata dua. Jika aku mengetahui dia sedang merajut kasih dengan yang lain, aku akan patah hati di tempat. Jika aku mendapatkannya tidak dalam pelukan siapa-siapa, aku akan membusungkan dada untuk memberikan dada terlapang , dan bahu paling tegar, yang bisa ia jadikan tempat bersandar di kala duka maupun duka.

Ia bercerita kalau ia memang sedang merajut kasih. Ia Long Distance Relationship. Ia hanya berkomunikasi via suara dan kata-kata. Kekasihnya bernama Sakti. Ia berlokasi di Bandung dan bekerja di sana. Ketika kutanya kapan kekasihnya kembali ke pelukannya, ia hanya diam. Ketika kutanya kapan terakhir kalian bertemu, ia juga terdiam. Ketika kutanya kapan terakhir kali kalian makan malam bersama seperti aku dengan dirinya, ia juga masih diam. Ia diam dalam keramaian. Ia diam-diam mengingat akan kenangan bersama Sakti.

Ia sedang merajut Long Distance Reunian. Bahkan ia tak ingat kapan terakhir kali bertemu.

Ia sedang dilanda Lelah Dijamah Rindu. Bahkan ia tak ingat lagi manis-manisnya cinta

Ia Luka Dalam Risalah. Ia dipeluk bisu. Ia lelah menunggu. Ia membisu ketika menunggu.

Tak kukira harus menjadi seperti ini. Aku tak dihadapkan pada pedang bermata dua. Dada terlapang dan bahu paling tegar yang telah aku persiapkan, kusimpan rapi kembali. Ia tertangkap mata dan telinga sedang merajut kasih dengan yang lain. Harusnya yang aku tulis di sini adalah adegan di mana aku akan patah hati. Tapi melihat raut kesedihan yang terpampang jelas ketika aku mencoba menguak kisah cintanya, aku harusnya menyiapkan kembali dada terlapang dan bahu paling tegar untuknya.

Dia meminta maaf padaku perihal kesedihannya yang tiba-tiba. Dia tidak bermaksud untuk merusak mood kencan kami malam itu. Melihat kondisinya yang seperti ini, jalan keluar paling aman adalah tertawa. Lantas kuceritakan saja tentang dunia perkuliahanku. Kisah-kisah cinta absurdku dengan para terdahulu yang banyak orang akrab menyebutnya dengan ‘mantan’. Ia terpingkal-pingkal mendengarkanku menceritakan kisah antara aku dengan Gaby. Ia juga tertawa lepas mendengar ceritaku tentang kasus-kasus PHP yang aku alami. Batinku, semoga ia juga akan tertawa membaca tulisanku ini.

“Sudah Don, sudah! Aku sampai mau menangis terlalu banyak tertawa hari ini..” Ia memotong ceritaku di tengah-tengah cerita.

“Kamu lucu ih. Sepertinya, kamu tahu benar cara membuat perempuan tertawa ya.” Ia menambahkannya lagi.

“Ah, tidak kok. Kamu saja yang senang dibuat tertawa.” Balasku.

“Perempuan yang bisa menjadi pacarmu tentu senang ya.. Dekat bersamamu pasti dijauhkan dari kesedihan..”

Malam itu, aku mendengar sebuah kalimat yang menentramkan. Aku tak peduli apakah itu hanya untuk menyenangkan perasaan, atau keluar dari dasar hati terdalam. Kencan kami malam itu seperti sebuah orkestrasi musik. Ia lagunya, aku musiknya, dan cinta adalah dirigennya.

Oleh asmara aku dibuat kasmaran.

Malaikat maut pun bingung harus bagaimana mencabut nyawa seseorang yang tengah kasmaran. Lalu ia meninggalkanku begitu saja, mengira aku akan mati dengan sendirinya. Aku tak mengada-ngada, ketika berbincang denganmu, seolah-olah Tuhan hanya menciptakan satu suara di hidup ini. Dan itu suaramu..



 

Konon, ada sebuah kisah puitis dari sepasang kekasih. Mereka tak pernah bersengketa. Mereka tak pernah berseteru. Mereka tak pernah berdebat. Mereka tak pernah menyakiti satu sama lain. Begitu membaca kisah mereka, aku sangat tertarik untuk menyibak kisah mereka sampai di halaman terakhir. Apakah rahasia perihal keharmonisan hubungan mereka?

Di akhir halaman kutemukan jawaban yang tak memuaskan.

Ya, mereka sudah  tak pernah berbicara lagi satu sama lain.

Akhirnya, dengan rasa yang  tak terpuaskan ini, aku menarik kesimpulan. Mustahil aku dengan dirinya tak bersengketa. Mustahil aku dengan dirinya tak berseteru. Mustahil aku dengan dirinya tak berdebat satu sama lain. Dan selama aku masih berbicara dengan dirinya, mustahil aku tidak jatuh cinta dengannya. Berarti akan selalu ada masalah selama aku terus berbicara dengan dirinya. Dengan berbicara kita bisa bertengkar. Dengan berbicara kita bisa menyelesaikan masalah. Mungkin benar, kita tak diciptakan untuk saling membaca pikiran. Untuk itulah kita harus bicara.

Cinta adalah sebilah pedang bermata dua. Semakin dibicarakan semakin membuat kangen. Semakin diingat semakin membuat sakit. Begitulah yang terjadi di antara aku dengan dirinya. Semakin intens pertemuan dan canda tawa yang terukir di senyuman, semakin terpampang jelas rasa kangen yang dibuatnya. Namun semakin diingat, seperti ingin mencabuti belati-belati yang menancap di ulu hati. Luka ini luka sederhana, sesederhana pembicaraan hangat kita, namun semuanya tentang dia.

Sekarang hari Jumat. Besok hari Sabtu. Besok, Sabtu pagi, Nia akan diwisuda. Ia diwisuda dari Akademi Kebidanan. Jumat malamnya, aku sibuk menguntai kata untuk mengucap selamat padanya. Jika sedang jatuh cinta, memberi ucapan selamat akan membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya. Jika aku memberi ucapan sederhana, lantas aku tak ada bedanya aku dengan lelaki yang datang dan pergi di kehidupannya. Jika aku memberi ucapan dengan euforia, sudah tentu aku tak bisa melakukannya. Aku belum pernah merasakan euforia sebenarnya diwisuda. Jika aku mengucapkannya dengan puisi, aku tahu ia tak suka puisi. Tapi satu hal yang harus ia sadari, ia adalah penyair terhebat di tiap bait perih dan patah hati ini. Ia penyiar, aku penyair. Ia siarkan cinta di tiap bait syair-syairku.

Paginya, setelah embun telah jatuh dari dedaunan, pukul enam, aku mengirimkan satu pesan singkat. Akhirnya aku memutuskan untuk memberinya ucapan selamat sederhana. Sampai pukul enam lewat empat puluh menit, tak ada tanda-tanda kehidupan di ponselku. Ucapan selamatku padanya tak berbalas. Nampaknya, aku telah salah dalam memberinya ucapan sederhana. Harusnya aku memberi ucapan dengan euforia. Sepertinya aku akan bernasib sama seperti lelaki-lelaki yang datang dan pergi di kehidupannya.

Pikirku, ah sudahlah. Aku lebih baik mandi dan segera beranjak ke kampus. Ada kuliah pada pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Dengan nyawa yang belum lengkap terkumpul, aku menelusuri lidah dari ujung sampai pangkalnya. Bermain di antar gusi dan gigi. Semenjak kehadirannya, menggosok gigi tak pernah selama ini.

Di tengah kekhusukan menggosok gigi, ponselku berbunyi. Lagu Butiran Debu begitu memekak pendengaran. Ketika mendengarnya, aku seperti terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Dengan terhuyung-huyung, aku merangkak dari kamar mandi menuju kamarku. Mencari tahu siapa gerangan yang menghubungiku.

Kutatap nanar layar ponselku. Ada tiga panggilan tak terjawab. Aku merasa bersalah. Harusnya namanya terpampang di hatiku, bukan di panggilan tak terjawab ponselku. Maafkan aku, Nia. Aku lekas membalas panggilan tak terjawabnya. Belum sempat kuraih tombol call di ponselku, Nia kembali melakukan panggilan. Kali ini jemariku berada di posisi yang tepat, di dekat tombol menjawab panggilan

.

“Iya, Halo, Nia. Maaf, tadi aku sedang di kamar mandi. Eumm, selamat wisuda ya. Sukses selalu.”

“Donnn, aku butuh kamu!”

“Apa?! Itu tidak mungkin. Kebutuhanmu akanku tak pernah melebihi kebutuhanku akanmu!” Ya, tentu saja itu tak keluar dari mulutku. “Kamu butuh apa, Nia?”

“Kumohon, datanglah ke wisudaku. Sakti tak jadi datang. Padahal kemarin pagi ia berjanji akan datang dan berniat mengabadikan fotoku di moment yang cuma sekali ini! Aku kecewa sekali..”

Suaranya pelan. Seperti berusaha menyembunyikan rasa tertekan. Seperti ingin mengucap perpisahan pada kenangan.

Kulihat jam, ini pukul enam lewat lima puluh satu menit. Aku ada kuliah pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Ini lagi-lagi sebuah polemik. Kuliah pagi ini termasuk kuliah paling sulit yang pernah aku temukan di kampus ini. Mata kuliah ini juga yang membuat perbincanganku dengan IPK menjadi tidak menarik. Aku harus menjelaskan dengan berat hati kepada Nia. Kali ini aku tidak bisa. Semoga ia mau mengerti.

“Oke, aku bisa. Acara wisudamu jam berapa?” Jawabku mantap.

“Jam tujuh lewat tiga puluh menit, Don. Kamu berangkat sekarang, ya.”

Aku tersedak. Sikat gigi yang masih ada di mulutku terpelanting jauh sekali.

“A-apa?! Tempat wisudamu itu bukan jarak yang dekat dari sini, Nia. Motorku tidak dirancang untuk melaju di atas tiga ratus kilometer per jam!”

“Makanya, berangkat sekarang ya, Don. Pakailah baju yang rapi, seperti yang kamu sering kenakan saat menjemputku pergi.”

Iya, aku memang selalu berpakaian rapi saat bertemu dengannya. Bahkan, sisir kecil selalu siaga satu di saku celana, atau tas kecilku. Ibuku memang selalu mengajarkan cara berpakaian rapi sejak tinggiku tidak lebih dari satu meter. Sejak kecil aku sudah terbiasa mengenakan kemeja. Bahkan pernah, di sebuah pertemuan acara keluarga, ibuku memakaikanku kemeja lengkap beserta dasinya. Alhasil, di pertemuan keluarga itu, tubuh mungilku menjadi sasaran empuk untuk dipeluk para wanita dewasa. Aku berpindah dari gendongan satu ke gendongan lainnya. Bahkan ketika aku berada dalam gendongan seseorang wanita, ibuku datang dan menyisir kembali rambutku yang telah bergeser sedikit dari orbitnya. Aku cuma bisa pasrah.

“O-oke, baiklah. Jika itu bisa membuatmu tersenyum, aku akan berangkat ke sana sekarang.”

“Terimakasih, Don. Entahlah, aku seperti merasa kamu selalu ada untukku.”

Kututup panggilannya. Kuambil ancang-ancang, lalu berlari menuju kamar mandi. Nyawaku yang setiap bangun pagi selalu terlambat berkumpul, kali ini mereka bersatu untuk satu tujuan. Saat itu, di tengah deras kucuran shower, aku merasa bertenaga. Tanpa dahaga. Cinta tanpa sebab itu yang menjadi biang keroknya.

Sekarang pukul tujuh lewat tiga puluh delapan menit. Baru kali ini aku terlambat dalam pertemuan yang jamnya telah disepakati sebelumnya. Aku telah sampai di sebuah gedung, besar, megah, dan tentu ramai sekali. Banyak ibu-ibu yang memakai kebaya di sana. Mereka mengantarkan anaknya. Tentu sangat sulit menemukan Nia di tengah kerumunan seperti ini. Ada beberapa orang yang menjajakan bunga untuk hiasan dan kiasan di acara wisuda. Aku beli beberapa tangkai. Yang warnanya paling merah, mawar berduri.

Sambil membawa beberapa tangkai mawar berduri, aku menghubunginya. Aku menyampaikan bukti kehadiranku di acara wisudanya. Ia menjawab dengan penuh euforia. Aku diminta untuk bertemu dengan kedua orang tuanya di luar ruangan.

AH, TIDAK!

Aku selalu gugup ketika berhadapan dengan orang tua kekasih. Oh, maaf, kali ini orang tua calon kekasih. Dulu, aku punya banyak kenangan perih dan pedih saat bertemu dengan orang tua kekasih. Tentu saja, perbedaan agama yang menjadi salah satu biang keladinya. Aku diberi sebuah pesan oleh ayahnya dengan gaya bahasa dan pengucapan berbeda. Kalau diterjemahkan, aku diminta meninggalkan anaknya tanpa ampun. Tanpa alasan. Tanpa penyesalan. Lalu bagaimana rasanya? Semenjak itu, aku sadar bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar patah hati.

“Selamat pagi, Om, Tante, saya Don Juan, temannya Nia.” Aku bergegas salim pada kedua orang tua Nia.

Mereka berdua melihatku dengan tatapan sedikit heran. Seperti ada yang salah dari penampilanku hari ini. Aku sudah mengenakan kemeja. Arlojiku sudah melingkar di pergelangan kiriku. Rambutku sudah tegak berdiri menantang tanpa gemetar. Belum sempat aku temukan bagian yang salah dari penampilanku, aku dikejutkan oleh suara berbisik Ibu Nia.

“Wah, teman Nia yang yang ini tampan lho, Pak.” Bisik Ibu Nia ke Ayah Nia.

“Hah, apa Bu?” Aku berpura-pura tuli.

“Oh tak apa-apa. Mas Don Juan bisa menggunakan DSLR?” Tanya Ibu Nia.

“Oh, emm, eumm, bisa kok, Tante.” Balasku canggung.

“Ini, kamera DSLR untuk memotret Nia wisuda ya.”

Aku pun menerimanya. Aku dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Sebelum aku bisa bertemu dengan Nia, aku harus mengikuti prosesi acara wisuda secara keseluruhan. Hari ini aku melakukan apa yang Sakti tak mampu berikan. Aku memberikan waktu dan kehadiran. Yang lebih membuatku bersitegang dengan perasaan, aku duduk ditengah Ayah dan Ibu Nia. Aku ditengah-tengahnya. Aku diapit mereka. Betul dugaanku, mereka bertanya-tanya seputar kedekatan hubunganku dengan Nia. Sudah berapa lama. Sudah seserius apa. Aku diam membisu. Bibirku membeku. Aku dianggap seperti kekasih Nia. Aku mau berlari keluar ruangan. Namun tak kulakukan.

Di tengah prosesi wisuda, aku diam tertegun memandangi DSLR ini. Bagaimana cara menggunakannya. Lensanya panjang seperti senapan laras panjang. Tombolnya banyak seperti dashboard pesawat. Aku bidik ke segala arah layaknya fotografer professional. Ketidaktahuanku akan dunia fotografi berkamuflase dengan gayaku dalam membidik gambar. Aku harus bisa menggunakan kamera ini untuk mengabadikan gambar Nia. Setelah itu aku akan mengabadikan dirinya menggunakan lensa yang lain. Lensa hatiku.

Empat jam sudah aku duduk dengan kondisi perut dihajar rasa lapar dan duduk diapit kedua orang tua Nia. Kalau bukan cinta yang menjadi bahan bakarnya, tentu aku sudah terkapar dan dilarikan ke posyandu terdekat. Akhirnya acara wisuda telah selesai. Banyak para wisudawan yang dibalut kain hitam toga berfoto-foto. Beberapa ada yang memakai selendang kebesaran cumlaude. Snack siang pun datang. Saat menikmati rasa laparku ditelan makanan, tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Aku memalingkan badan. Aku berhenti mengunyah makanan.

Nia cantik sekali. Aku ingin memeluknya. Namun tak kulakukan.

Siang itu aku menangkap tubuhnya, senyumannya, dan semuanya yang indah dari dirinya lewat DSLR miliknya. Entah, gambar dirinya yang aku potret selalu dibilang bagus oleh kedua orang tuanya. Firasatku, Nia ini fotogenic sekali. Mungkin foto yang paling bagus adalah foto saat ia terjatuh pasrah di dalam pelukanku. Mungkin. Kelak. Suatu hari nanti.

“Dik, itu lho kamu foto bareng Mas-nya.” Ibunya menyuruh Nia untuk berfoto denganku.

“Don, ayo fotooo..”

“Eum, baiklah.”

Pergelangannya merangkul pergelanganku. Aku hanya berjarak beberapa inchi darinya. Banyak dari mereka yang merasa tak tahu harus mencari kebahagiaan di mana. Kali ini, aku hanya berjarak beberapa inchi dari kebahagiaan. Aku tak pernah sedekat ini sebelumnya. Tak pernah. Seperti kapal besar yang jenuh diombang-ambingkan di tengah laut, kemudian merapat di dermaga. Tubuhnya merapat ke pelukanku. Aku dermaganya.

“Wah, dik. Cocok kamu sama Mas-nya.” Ayah Nia menyambar. Tubuh kami yang tadinya merapat, tanpa isyarat segera menjauh kembali. Kapal besarnya telah melaut lagi. Menjauh dari dermaga. Kami hanya tersipu malu.

Lalu aku meminta Ayah Nia untuk bersedia memotret kami menggunakan kamera ponselku. Empat foto dengan empat gaya berbeda menghiasi camera-roll ponselku. Aku senang sekali. Karena dirasa sudah cukup, Nia dan keluarganya berniat pulang. Rona bahagia terpampang jelas di seluruh wajah mereka. Sewaktu berjalan ke tempat parkir, pergelangan Nia masih terus memeluk pergelangan tanganku. Itu terjadi begitu saja. Jauh sebelum hatiku meminta kehadiran hatinya, jemariku sudah terlebih dahulu meminta digenggam oleh jemarinya.

Nia senang. Hatiku tenang.

Malamnya, sesambil terkulai di rebahan tempat tidurku, aku memandangi foto-fotoku dengan Nia. Cuma senyum yang bisa aku hasilkan. Kini, aku bertafakur dalam indahnya bersyukur, saat tersadar pada cintamu aku jatuh tersungkur.



 

Beberapa hari ini aku sulit tidur. Mungkin karena kenyataan di dunia lebih indah dari bunga tidurku. Sebelum tidur, aku meminta pada-NYA beberapa mimpi indah. Namun tidak ada jawaban. Lalu esok paginya, ketika aku bangun, kulihat ponselku. Ada SMS masuk.

“Selamat pagi,  lelaki yang banyak memberikan waktu dan kehadiran untuk perempuan yang tak tahu harus di mana mengadu. Jangan lupa sarapan, yaa..”

Tadi malam, kuminta pada-NYA beberapa mimpi indah. Namun, ia menjawabnya dengan kenyataan yang indah. Ia menjawabnya lewat Nia. Jika doaku didengar-NYA, ia ingin aku lebih mensyukuri hidup. Jika doaku tidak didengar-NYA, ia ingin aku lebih bersabar. Jika banyak dari doaku tidak juga didengar-NYA, ia punya rencana lain untukku. Di lengahmu, aku memandangimu. Di tengah doa pada Tuhanku, aku memintamu.

Sekarang, aku sedang dalam masalah besar. Harus bagaimana  mengucapkan terima kasih pada-NYA? Terima kasih secara sederhana? Atau lewat puisi? Sajak? kepada-NYA aku tersenyum.

Pesan sederhana yang-imbasnya-tidak-sederhana itu, menjelma layaknya mood booster di Senin pagi ini. Mungkin benar, orang yang jatuh cinta adalah orang yang tak pernah luput memberikan perhatian-perhatian kecil. Kelak, perhatian-perhatian kecil itulah yang membuat kangen. Aku ingin membangun rumah cinta yang besar bersamanya. Hari ini, aku belajar membangun fondasinya. Perhatian-perhatian kecil.

Membaca pesan sederhananya, lantas tak juga membuatku puas. Ia membangunkan seorang raksasa dari tidur panjangnya. Sekarang, raksasa itu haus. Ingin melepas dahaga dengan suaranya. Aku pun menelponnya. Belum tiga kali aku mendengarkan nada dering, panggilanku sudah dijawabnya.

“Terima kasih ya, kamu sudah membangunkanku.”

“Iya, aku kira kamu masih tidur, Don.”

“Ah, tidak. Sebenarnya aku terjaga sepanjang malam. Mungkin tubuhku merindukan pelukan kasur lebih lama lagi.”

“Lho, kamu begadang semalaman, Downy?”

“Sebenarnya sih, iya.”

“Kenapa?”

“Kemarin, aku terlalu banyak dihidangkan senyumanmu. Kepalaku adalah sebuah kamar, poster senyuman-senyumanmu tertempel di setiap sudut ruangan.”

“DOWNNYY.....”

“Kamu adalah kafein. Hatiku dibuatnya begadang hingga pagi menjelang.”

“DOWWNNYYYY.......”

“Nia, aku bukan pelembut pakaian.”

“Kamu ini.. sehari tak membuatku senyum-senyum sendiri, bisa?

“HEHEHEHE.”

“Ahihi.”

“Nia, aku mandi dulu ya. Aku ada kuliah pagi. Kamu tutup ya teleponnya.”

“Ahh, Downy saja yang tutup yaa..”

“Ahh, kamu sajalah yang menutupnya..”

“Ah, kamu saja.”

“Ah, kamu saja deh..”

“Downy.. kita tutup sama-sama ya..”

“Emm, oke, kita tutup sama-sama ya, Niaa..”

*Aku dan dirinya bicara bersamaan* “Satu.. Dua.. Tiga..”

...........

...........

“Ishhh, Downyyyy, teleponnya belumm ditutup..”

“Hehehe, iya yaa.. Kok belum ditutup ya teleponnya..”

“Aaahhh, Downy.. tutup gihh.”

“Iya-iya, aku tutup deh yaa. Dadaaaahh..”

..........

..........

..........

“Ini belum mati loh teleponnya, Downnyy..”

“Ya, ampun, Nia.. Tombol untuk mematikan teleponnya hilang entah kemana.”

“Ahhh, Downyy..”

“Ahhh, Niaa..”

Akhirnya baterai teleponku habis. Teleponnya mati. Pembicaraan kami usai. Aku terlambat kuliah. Aku kasmaran. Kemudian turun hujan. Aku benci hujan. Aku takut hujan turun menggenang. Satu per satu bayangnya muncul dalam tenang. Meminta untuk dikenang.

Aku kasmaran.

Cinta memang berlebihan. Ia sering berkamuflase di balik kata Sederhana. Cinta memang berlebihan. Ia sering muncul sebagai oase di tengah gurun Sahara. Cinta memang berlebihan. Mengangkat yang berkekurangan. Menerbangkan yang sudah berkelimpahan.

Cinta memang berlebihan.

Siangnya, aku menelponnya kembali. Aku ingin mengajaknya pergi saat siang dengan malam berpapasan. Saat senja. Dulu, ia pernah membicarakan tentang sisha. Ia suka sisha. Entah kenapa. Mungkin, sisha adalah bagian dari kenangan-kenangannya bersama Sakti. Entahlah. Maka dari itu, aku menelponnya untuk mengajaknya menghisap sisha di suatu tempat terbuka, langsung menatap atap dunia. Di suatu tempat seperti saung, menghembuskan asap sisha dengan kebersamaan paling raung. Sayup-sayup terdengar suara cinta begitu gaung. Suara aku dengan dirinya.

Ia tentu mengiyakan ajakanku. Ia ingin aku menjemputnya tepat setelah senja. Di saat senja tidak terlalu terang, dan tidak begitu gelap. Aku kembali menunggu di depan pintu gerbangnya. Kali ini tidak terbengkalai. Aku tidak sempat melihat angin menerbangkan temannya, dedaunan. Rambut hitam panjangnya kembali ia gerai. Kaosnya hitam. Jaketnya hitam. Jeans-nya hitam. Aku seperti diantarnya ke pemakaman. Aku berencana memakamkan kenangan-kenangannya di masa lalu. Mereinkarnasi harapannya ke hidup yang baru. Senja ini, kami berdua sangat bersinar. Ia bersinar dalam balutan hitam, aku bersinar---bersyukur dengan mata berbinar. Aku membukakan pintu gerbangnya, menyambut jemari ibunya untuk kudaratkan di keningku. Meminta izin untuk membahagiakan anaknya.

Saat duduk di atas motor, ia pun tak seperti dulu. Jika waktu pertama kali ia duduk dengan GAP yang cukup jauh antara punggungku dengan dadanya, sekarang tidak. Ia tidak lagi menjauh. Tangannya yang dulu memegang besi bagian belakang, sekarang tidak. Sesekali ia berani meletakkan lengannya di bahuku. Sedikit di pinggangku. Dan sedikit kusangka akan memelukku. Ah, nyaris saja.

Tidak lama kemudian, kami sampai di tempat yang telah kami sepakati sebelumnya. Saat itu pukul tujuh. Langit sudah terbilang cukup gelap untuk membuat kami menerka-nerka, membuat kami menunjuk-nunjuk, di mana letak bintangnya. Kami memesan seperangkat sisha, rasa anggur. Kami memilih tempat yang seperti saung, dan duduk lesehan. Mengepuskan asap sisha ke langit. Kami berdua memesan pancake. Ia suka pancake durian. Aku pancake coklat. Aku belum pernah mencicipi pancake durian. Aku berharap kalimat, “Kamu mau, Don?” terucap keluar melewati bibirnya. Aku ingin pancake duriannya. Ingin sekali. Mulutku membutuhkannya.

Ah, malam itu kurang beruntung. Kalimat yang kunanti tak kunjung datang. Rencananya, di saat ia lengah, akan aku rampas sepiring pancake-nya. Di saat-saat menanti kelengahannya, malah kalimat ini yang keluar melewati bibirnya.

“Downny, coba deh. Enak lohh..” Dia mengantarkan sesendok potongan pancake lengkap beserta sausnya ke mulutku.

Aku pasrah.

Akhirnya pancake durian itu berakhir di genggaman mulutku. Manis sekali.

“Manis yaa.” Aku mengucapkannya sesambil memandangi bibir Nia.

“Enak kann.. mau lagi?”

“Iya, mau.” Aku mengucapkannya sesambil memandangi bibir Nia.

“Ini..”

“Manis yaa.”

“Gimana? Mau lagi..”

“Iya, mau.”

“Hummph, beli sendiri yaa, Downyy..”

“Manis yaa..”

“Loh, kok manis sih? Ishh, gimana sih?

“EH, IYA APA TADI ? EMM, EUHH, TADI KAMU BILANG APA?”

“Isshh, kamu lagi melihat apa, sih?”

Saat itu kedua mataku tertuju pada bibirnya. Persetan dengan pancake-pancake ini. Persetan. Nia lebih manis dari yang aku bayangkan. Sudah sedekat ini. Aku tersesat dalam tatapannya. Terkulai lemah di depan senyumannya. Membujur kaku di dekat bibirnya. Matilah sudah.

“Eh Nia, apa tidak jadi masalah jika kamu pergi kemana-mana bersamaku seperti ini?”

“Masalah? Lho, memangnya kenapa?”

“Kamu bisa bertengkar dengannya, jika ia melihatmu bersamaku seperti ini?”

“Siapa? Sakti?”

“Iya, Nia. Sakti.”

Ia kembali muram.

“Sudahlah, coba ceritakan padaku tentangnya, Nia.”

Dengan muram, ia menceritakan awal pertemuannya dengan Sakti. Ia bertemu Sakti lewat Facebook. Bukan sebuah rahasia lagi jika seseorang bisa menjatuhkan cintanya lewat jejaring sosial, seperti Facebook. Aku juga pernah melakukannya. Tidak hanya sekali. Jika kamu punya waktu, datanglah sesekali menyekar di kuburan hatiku. Banyak para mendiang kenangan dimakamkan di sana.

Keisengan yang dibuat mereka di awal cerita, berakhir serius. Mulai terpercik api-api cinta di tiap kalimat yang berbenturan di kedua mata mereka. Cinta yang timbul dan muncul via aksara di Facebook itu berujung dengan pertukaran nomor telepon. Saat itu, mereka tidak hanya dipertemukan lewat untaian aksara. Setiap aksara adalah lisan yang dibaca. Setiap lisan adalah aksara yang didengar.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan akhirnya genap setahun. Nia mengutarakannya dengan suara pelan. “Kami belum pernah bertemu.” Ia hanya mencintai Sakti dari sebuah telepon selular. Ia hanya menerka-nerka, berimajinasi, dan berfantasi tentang Sakti dari profil picture Facebook-nya. Aku hanya diam dengan membiarkan pikiranku menganga lebar. Bagaimana mungkin cinta hadir di situasi seperti itu. Sepertinya benar. Cinta datang, menjelang, dan berkumandang, bahkan di tempat-tempat tergelap yang tidak pernah kita sadari.

Aku tetap termangu. Mendekatkan tatapanku. Juga badanku. Ke setiap pembicaraannya.

Nia sering sekali meminta Sakti untuk datang ke kotanya. Ia ingin mengetahui apakah Sakti semanis di dunia maya mereka. Namun, Sakti selalu berhasil membuat harapan-harapan semu. Membuatnya terus menunggu. Tanpa jemu. Tak menentu. Menyeretnya ke curahan-curahan hati yang tak pernah terungkap. Saat itu, aku berhasil mengungkapnya. Aku memberikan kehadiran. Memberikan dada terlapang. Bahu paling tegar. Aku berniat memakamkan Sakti, menguburnya dalam-dalam. Kemudian, membangkitkannya lagi dalam bentuk aku.

“Kenapa bukan kamu yang menghampirinya, Nia?”

“Apa? Kalau dia cinta aku, harusnya dia yang berinisiatif menemuiku, Don.”

“Humm, iya ya. Apa kamu masih mencintainya?”

“Entahlah. Aku bingung bagaimana menceritakannya, Don.”

“Lantas bagaimana kelangsungan hubungan kalian? Apa masih sehangat dulu?”

“Entahlah.”

“Hmmm, aku mau kok membantu kamu menemukan kembali kehangatan bersama Sakti.”

“Maksudnya?”

“Sini, aku pinjam teleponmu. Akan kutelepon Sakti. Akan kubujuk agar lekas menemuimu.”

“Lho, jangan! Buat apa, Don?”

“Kupikir, siluet muram di wajahmu akan pergi jika kalian sudah bertemu.”

“Tapi, Don.. Kenapa kamu ingin aku kembali ke Sakti?”

“Kalau dengan itu bisa membuatmu tersenyum, tentu akan kulakukan.”

“Andai saja Sakti itu sepertimu..”

...Ini salah satu kalimat yang kutunggu-tunggu. Menikung tahap pertama, sepertinya membuahkan hasil.



(from theplayboytalks.blogspot.com)
(from theplayboytalks.blogspot.com)